Monday, August 18, 2008

Melupakan Adonis

P bilang "kita terlalu banyak melihat dunia."

Ketika saya tanya kenapa kita mau terlalu banyak di hidup ini.
Terlalu banyak mengenal kota cantik, danau sepi, angin dengan semerbak bau kayu, daun rimbun, buah manis di semua musim, seorang Adonis dengan senyum sipu, yang tidak mau terdengar berkelakar, tapi memang ingin sekali tertawa bahagia di pangkal lehernya karena ia sangat terhibur dengan senyummu.
Dengan rambut coklat keemasan, mata biru ombak yang seperti tembus pandang, tapi bukan kosong.
Karena ia senang sekali menatap wajah dan matamu.
Ia juga senang sekali bermandi matahari yang ia sangat yakin paling indah di kampung halamannya, membuat kulitnya terbakar kecoklatan.
Namun ia tidak khawatir karena ia terlalu sibuk bermain air dan menyelam ke dalamnya biru air Laut Selatan.



Siapa yang siap menisbikan kenyataan seperti ini dalam hidupnya. ?
Melupakan wajahnya, lembut rambut dan kulitnya di telapak tanganmu dan pipimu, dan dahimu?
Membaui daun Mint dan tajamnya harum citrus
Melihat bayangan daun bermain main di wajahnya dan matanya yang terpejam tetapi bukan tertidur dan ketika ia membuka matanya tiba tiba ia kembali tersenyum, lalu tertawa seperti hendak ia menahannya sehigga yang terdengar adalah letupan nafas dan gelak kecil dari mulutnya, karena ia menemukanmu memandangi wajahnya,
matanya yang terpejam,
dan bibirnya.
dan senyumnya.

"orang lain memang tidak?"

mungkin orang lain lebih memilih bermimpi dengan cara yang lebih masuk akal.
Tidak setengah ajaib.
Karena ada orang lain. yang tidak pantas dikecewakan.
Mereka penghembus hidupmu.
Delegasi Tuhan untukmu.
Ada tuntutan mereka untuk menjadi bahagia seperti yang mereka gambarkan bahagia.
Bahagia dengan cara yang mungkin lebih mudah dari dulu mereka coba cari bahagia.
Ada karir dan pencapaian yang begitu mungkin untuk diraih.
Karena kita diberi kesempatan dan bekal.

Tapi karena begitu takut salah dan gagal.
muncul begitu banyak pilihan baik nyata atau pun tidak, baik diberikan atau diciptakan.
kerja dulu atau Magister dulu?
Majalah atau koran? reporter atau copywriter? kenyamanan atau jarak?
Semua adalah pilihan pilihan yang dibuat karena kita terlalu lama menjadi
pengecut.

Kebingungan menjadi alibi yang dipaksakan masuk akal, karena mungkin sangat mudah berhenti membahas kebingungan lawan bicara kita.
Untuk apa melanjutkan cari tahu lawan bicaramu mau apa, sepertinya dia harus banyak memutuskan. Dia...bingung. jangan bicarakan. bahas ini saja :
"sendal kamu bagus. beli dimana?."
lalu lelucon,
demi lelucon.

Padahal kau tahu leluconmu sering antiklimaks, hanya saduran, terlalu dipaksakan, sering tertimbun percakapan yang lebih penting, dan suaramu sebenarnya parau.

Untunglah terman kita banyak sekali yang begitu mudah terhibur.
Tanda mereka bahagia. Tidak perlu usaha banyak mengembangkan senyum di wajah mereka.

Adonis, mati terbunuh babi hutan.
dan harus membagi dirinya untuk Aphrodite dan Persephone.
Tragis? patetis?
Ah, hanya legenda.
Kita tahu kenyataannya—ah sudahlah...

No comments:

Post a Comment